SEJARAH PENDIDIKAN DALAM ISLAM

1. Pendahuluan

Tidak banyak para ahli pendidikan Islam mengungkapkan atau membahas pendidikan Islam sebelum masa kenabian ke-publik. Barangkali pemahaman itu telah sama-sama dimengerti, bahwa pendidikan Islam hanya ada ketika Islam telah menjadi nubuah Muhammad saw, sehingga konotasinya, hanya setelah diangkat jadi Nabi saja Muhammad saw dikatakan telah menjadi Islam atau muslim. Maka, pendidikan Islam serta merta pula mengawali periodenya, karena sang ‘pemula’ adalah seorang yang beragama Islam. Berangkat dari pemahaman seperti demikian, boleh dikatakan, dengan sendirinya, disetiap aktifitas Muhammad saw merupakan proses pendidikan Islam itu sendiri. Dimulai dari dakwah Muhammad saw secara sembunyi-sembunyi hingga perintah dakwah terang-terangan kepada masyarakat Arab secara khusus dan untuk manusia secara umum.

Dengan demikian, maka pemahaman tersebut akan sedikit terusik bila disodorkan sebuah pertanyaan, apakah sebelum Muhammad saw diangkat secara resmi oleh Allah swt menjadi utusanNya, tidak beragama Islam atau seorang Muslim? Jika diikuti pengertian muslim sebagai orang yang berserah diri kepada Allah swt, sebagaimana para nabi dan rasul terdahulu juga menyebut dirinya seorang muslim. Maka Muhammad saw secara terang-terangan memang belum pernah menyebutkan dirinya seorang muslim, kecuali setelah diangkat jadi utusanNya.

Dan bila seseorang tidak menegaskan dirinya seorang muslim tentu saja bisa dilihat dari semua aktifitasnya sehari-hari. Untuk menyamakan pemahaman, bahwa penegasan dengan lisan dan bahasa tubuh, atau tepatnya dengan tingkah laku dan kesaksian orang lain, adalah cara-cara yang sering digunakan manusia untuk menunjukkan ia dari golongan tertentu. Maka, untuk memberikan petunjuk mengenai Muhammad saw seorang yang berserah diri kepada Allah swt sebelum diangkat menjadi rasul dapat disimak ungkapan Ibrahim Amini, bahwa ketika Abu Thalib bercerita, ”di suatu malam aku mendengar kata-kata yang luar biasa dari Muhammad saw. Bila kami makan dan minum, kami tidak menyebut Allah swt. Kemudian aku mendengar dari Muhammad ketika hendak makan mengucapkan Bismillahi al ahad (dengan nama Allah yang Esa) dan mengucapkan Al-hamdu lillahi katsiran (segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya)[1].

Peristiwa ini terjadi ketika Muhammad saw masih kecil, ketika dalam asuhan pamannya Abu Thalib. Kemudian kesaksian lain dari pamannya Abu Thalib mengatakan bahwa “ketika memulai makan ia (Muhammad) membaca : Bismillah dan setelah selesai makan ia mengucapkan : Al-hamdulillah.” Masih banyak keterangan lain yang menunjukkan bahwa Muhammad saw telah muslim, sebelum diutus sebagaimana yang diungkapkan Abul Fida (dalam Ibrahim Amini) bahwa sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw dalam setahun pergi ke gua Hira’ sebulan lamanya dan di sana beliau melakukan ibadah.

Di saat itu beliau memberi makan kepada setiap fakir yang datang. Sebelum pulang ke rumah, beliau thawaf mengelilingi Ka’bah.[2] Muhammad saw juga pernah melakukan haji, wukuf di Arafah, Masy’ar dan Mina, Kurban, Melontar Jumrah dan Sya’i.[3] Semua aktifitas di atas menerangkan bahwa Muhammad saw sebelum diutus adalah pengikut nabi Ibrahim as, karena aktifitas tersebut adalah syari’at Ibrahim as.

Kemudian timbul pertanyaan; bukankah orang-orang Quraisy juga melakukan ritual haji seperti itu? Jawabannya adalah benar, bahwa orang Quraisy juga melakukan hal yang sama, namun Muhammad saw tidak beribadah seperti kaum Quraisy lainnya yang sekaligus memuja berhala-berhala. Bisa ditambahkan, di antara orang Quraisy sendiri[4] tidak semuanya senang dengan ibadah penyembahan berhala dibalut dengan ritual haji itu. Menurut mereka hakikat agama Ibrahim telah hilang dan berganti kesesatan[5].

Terkadang para tokoh Quraisy yang tidak senang dengan penyembahan berhala berbalut haji tersebut, berusaha me­nemukan (mengembalikan) hukum ritual-ritual ibadah agama Hanifiyah ini, dan membersihkannya dari hal-hal takhayul (khufarat) sekalipun hanya untuk mereka saja. Jadi, sama halnya dengan Muhammad saw yang melakukan aktifitas ibadah yang sama, namun menyingkirkan ritual penghambaan kepada berhala-berhala di sekeliling Ka’bah atau di semua tempat ritual haji walaupun hanya untuk dirinya sendiri. Penegasan dari Allah swt bahwa Muhammad saw adalah sebagai orang hanif, dalam Al-Qur’an Allah swt menjelaskan, yang artinya. “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidaklah sesat dan tidak pula keliru (QS.An-Najmi: 1-2). Berarti Muhammad saw dari awal telah dipelihara oleh Allah swt atau maksum dari perbuatan dosa. Penjelasan itu menunjukkan bahwa Muhammad saw dari awal sebelum menjadi rasul adalah seorang muslim.

Oleh karena belum menjadi seorang utusan, tentunya tidak mempunyai syariat sendiri, kecuali bersandar kepada syari’at utusan Tuhan sebelumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa semua aktifitas Muhammad saw berarti bisa dikelompokkan kepada aktifitas Islam karena ia seorang muslim. Berarti proses pendidikan Islam telah ada sebelum diangkat menjadi utusan Allah. Namun dalam tulisan ini penulis batasi proses pendidikan itu hanya untuk diri Muhammad saw sendiri, dengan lingkungan masyarakatnya sebagai kelas belajar dan Allah swt sebagai gurunya yang sekaligus merancang kurikulum (materi-materi/pengalaman-pengalaman) belajarnya. Adapun materi-materi yang dilalui Muhammad saw adalah pengalaman hidup menjadi yatim piatu, menggembala kambing, berdagang, berperang, hidup dengan kaum kerabatnya dan berkomtemplasi/ber-khalwat (merenung, menyendiri untuk minta petunjuk). Adapun pendekatan (metode) belajar adalah partisipatoris dan role playing.

Sebelum diteruskan pembahasan ini, ada persolan yang harus dijawab terlebih dahulu, tentang apakah layak memposisikan setiap pengalaman-pengalaman yang dilalui Muhammad saw itu sebagai bentuk kegiatan pembelajaran sekaligus disebut sebagai kurikulum (materi ajar)?

Untuk menjawab persoalan ini, maka perlu digunakan pendekatan teori-teori pendidikan modern tentang apa itu belajar dan kurikulum.

Pertama, tentang apa itu belajar. Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Atau belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman[6]. Hasil belajar itu berupa kapabalitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai[7].

Sedangkan menurut Piaget pengetahuan adalah sebagai bentuk belajarnya seseorang dengan melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan, kemudian lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang[8].

Jadi, dapat dipahami belajar menurut Gagne yang pertama adalah proses perubahan sebagai akibat pengalaman. Pengalaman berarti kumpulan peristiwa-peristiwa tertentu yang dilalui oleh seorang individu, dengan peristiwa itu ia bisa merasakan, memahami kemudian melekat dalam dirinya perubahan akibat peristiwa yang dilaluinya itu. Perubahan yang dialami oleh seseorang yang timbul akibat pengalaman itu dapat berlaku sesaat telah selesai peristiwa tersebut terjadi, atau perubahan itu bisa datang beberapa waktu kemudian. Hasil dari belajar tersebut menurut Gagne timbulnya kapabalitas yaitu berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.

Kedua, belajar menurut Gagne adalah akibat dari proses kognitif yang dilakukan oleh peserta didik akibat stimulus lingkungan dalam hal ini lingkungan belajar. Lingkungan belajar bisa berupa alam terbuka, ruang kelas, keluarga, teman sebaya dan masyarakat. Proses kognitif bisa berupa membaca teks, memahami teks, dan mendengarkan pesan verbal dari sumber-sumber belajar.

Sedang menurut Piaget belajar itu karena interaksi sese­orang dengan lingkungan. Karena lingkungan terus berubah dari situasi satu kepada situasi lainnya. Dengan perubahan itu kata Piaget maka intelek seseorang semakin berkembang.

Dari pendapat para ahli di atas dapat dilihat, belajar itu mempunyai dua bentuk proses dan mempunyai pengaruhnya sendiri-sendiri. Pertama, seseorang yang berinteraksi dengan lingkungan langsung seperti kejadian di masyarakat, keluarga dan teman sebaya, maka yang akan berkembang dengan baik adalah bagian afektive (sikap) atau disebut juga Emotional Quetionnya (EQ). Sedangkan emosional ini dikendalikan oleh like dan dislike atau rasa suka dan tidak suka, sedangkan rasa ini adalah bagian akal manusia yang perlu dikembangkan dan bisa berjalan sendiri-sendiri dengan unsur lain akal yaitu kognitif. Biasanya ranah ini (lingkungan) tidak bisa dikondisi­kan, akan tetapi terjadi secara alami. Untuk lebih jauh masalah rasa akan dibahas kemudian.

Kedua, seseorang yang belajar karena proses interaksi kognitif dengan lingkungan belajarnya, yang berkembang pada ranah ini ialah kognitif itu sendiri berupa penambahan wawasan, definisi, angka-angka dan sebagainya. Sedangkan kognitif adalah bagian jalinan akal manusia yang harus dididik secara seimbang dengan rasa di atas. Namun bisa berjalan secara sendiri-sendiri tidak harus sekaligus.

Terakhir, tentang kurikulum yakni seluruh kegiatan yang dilakukan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut di bawah tanggung jawab guru/ pendidik. Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler. Apa pun yang dilakukan peserta didik asal di bawah bimbingan guru adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara[9], ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan lain sebagainya. Pengertian kurikulum ini merupakan salah satu yang terbaru dari rekonstruksi perkembangan pengertian kurikulum modern.

Adapun pengertian kurikulum di atas sangat luas sekali, sehingga memungkinkan penggunaan metode nature partisipatoris (partisipasi alami), dan role playing (bermain peran) adalah pendekatan yang dominan digunakan peserta didik. Namun penekanannya harus di bawah pengawasan pendidik atau guru. Dalam pembahasan ini yang menjadi pendidik (guru) sekaligus pengawas adalah Allah swt langsung terhadap Muhammad saw. Sedangkan kelas belajarnya Nabi ialah lingkungannya sehari-hari dan polarisasi metode pendidikan yang digunakan adalah nature partisipatoris dan role playing.

Di atas telah dibahas dua hal yang berkaitan tentang dimensi-dimensi pendidikan, guna melihat bagaimana konsep pen­didikan sebagai pengalaman belajar. Dari studi kritis itu dapat memberikan gambaran lebih luas tentang pembelajaran/ pendidikan. Inti dari penelaahan itu untuk mendudukkan konsep apakah telah terjadi pendidikan sebelum kenabian Muhammad saw. Sehingga dengan aktifitas-aktifitas Muhammad saw tersebut bisa dimasukkan ke dalam sejarah pendidikan Islam.

Setelah ditelusuri berbagai aspek di atas maka penulis beranggapan, pendidikan Islam telah ada sebelum kenabian Muhammad saw. Untuk lebih lanjut di bawah ini diuraikan sejarah pendidikan Islam pra kenabian yang mulai dengan pembahasan secara berurutan sesuai waktu kejadian/peristiwa.

Peristiwa yang dikaji di sini hanya beberapa saja yaitu lahir dalam keadaan yatim, sebagai pengembala kambing, sebagai prajurit perang, hidup menumpang dengan kaum kerabat, berkomtemplasi (menyendiri untuk mendapatkan petunjuk dari sang Penguasa Alam) dan masih banyak kejadian lainnya yang tidak dibahas. Kemudian terakhir dari makalah ini adalah kesimpulan.

2. Pembahasan

Menelusuri proses pendidikan Islam secara khusus dapat dilihat dari sejarah mulai diutusnya Muhammad saw menjadi utusan Allah swt kepada bangsa Arab. Dan secara umum dimulai ketika lahirnya Muhammad saw di sekitar abad ke 600 M[10] atau tepatnya pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal awal tahun Gajah bertepatan dengan 20 April 571 M[11]. Keterangan yang lain menyebutkan pada 17 Rabi’ul Awwal 570 M di Makkah[12] (penulis lebih cenderung pada keterangan terakhir karena lebih populer di kalangan ahli sejarah Islam). Sebelum menjadi utusan, Muhammad saw telah melewati jalan-jalan, pengalaman, dan peristiwa konkrit yang dari padanya merupakan persiapan-persiapan yang dirancang Allah swt untuk menjadikan Muhammad saw sebagai seorang pendidik bagi pengikutnya di tanah Arab. Pada proses pendidikan Islam selanjutnya secara terus-menerus dipraktekkan oleh pengikut­nya sebagaimana dicontohkan Muhammad saw.

Seperti yang diungkapkan Ibrahim Amini bahwa “para utusan Tuhan layaknya para guru sekolah. Yang satu diutus sesudah yang lainnya untuk mengajak manusia berserah diri di hadapan Allah swt”[13]. Dari tanah Arab, berkembanglah Islam ke seluruh penjuru dunia, tidak ada sudut negeri di dunia ini yang tidak terjangkau oleh Islam. Dalam proses penyebaran dan pengembangan Islam, tentunya tidak dapat dilepaskan dari pendidikan dan pengajaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, Islam dan pengajaran serta pendidikan adalah dua hal yang menyatu. Islam sebagai ajaran harus disampaikan kepada manusia sebagai penerima dan kemudian diberikan pembinaan yang terus- menerus dilakukan oleh si-penyampai pesan ke­pada si-penerima pesan. Dalam konteks pendidikan, pe­nyampai pesan sekaligus pembina disebut guru[14] atau pendidik dan penerima pesan sekaligus yang dibina disebut sebagai murid[15] atau siswa.

Jadi, untuk melihat proses perkembangan pendidikan Islam, maka harus ditinjau sejak berprosesnya Muhammad saw dalam lingkungan belajarnya di masyarakat Arab saat itu yaitu sebelum menjadi rasul. Dimana, di setiap aspek dari pe­ngalaman, peristiwa yang dilalui oleh Muhammad saw sebelum menjadi rasul mempunyai hikmah yang dalam. Jauh ke masa depan dapat di simpulkan bahwa persiapan-persiapan itu adalah untuk menjadikan Muhammad saw sebagai seorang pendidik untuk masyarakat Quraisy jahiliyah. Dari kesan itu dapat disebut bahwa seorang pendidik harus lebih sempurna dan mulia atau dengan kata lain lebih bersih jiwanya dari unsur kemaksiatan dan perilaku maksiat kepada manusia apalagi kepada Allah swt ketimbang orang yang dibina atau dididik.

Walaupun ada kehendak dari langit (Allah swt) bahwa Muhammad saw akan menjadi seorang rasul, dalam diri Nabi Muhammad saw sendiri punya keinginan supaya bisa memperbaiki kondisi masyarakat Quraisy di suatu saat nanti. Bentuk keinginan tersebut menjadi kuat ketika Muhammad saw sering menyendiri ke gua Hira[16]. Selain keinginan untuk mendapatkan petunjuk dari Sang Mahakuasa, juga sebagai upaya meminimalisir kemungkinan terkontaminasi dari pengaruh-pengaruh negatif kehidupan sosial masyarakat arab jahiliyah yang bobrok itu. Pembahasan tentang berkontemplasi ini akan dibahas lebih jauh kemudian.

Dan untuk melihat lebih jauh seperti apa materi-materi serta proses pembelajaran Muhammad saw dalam kelas masyarakatnya dengan metode partisifatoris dan role playing, dapat diuraikan sebagai berikut.

Adapun pengalaman pembelajaran hidup Muhammad saw dalam kelas masyarakatnya yang pertama adalah lahir dalam keadaan yatim. Ketika lahir beliau sudah menjadi anak yatim, Muhammad saw ditinggal selamanya oleh ayahnya Abdullah hanya baru tiga bulan menikahi Aminah ibunya[17]. Hanya berselang beberapa waktu hidup dengan sang ibu tercinta, disaat usia Muhammad saw 6 tahun[18] ibunya kemudian harus memenuhi panggilan Allah swt.

Dari peristiwa itu memungkinkan Muhammad saw menjadi seorang yang penyayang dan penyantun kepada kaum perempuan dan penyayang kepada anak-anak yatim disekitarnya. Menjadi orang yang mudah berterimakasih kepada siapapun juga, karena ia sudah terbiasa hidup dalam pertolongan orang lain seperti kakeknya dan pamannya. Jiwa beliau sebagai seorang manusia biasa sungguh terlalu lembut dan penuh kasih tidak ada dendam dalam dirinya, karena seberat apapun cobaan yang dihadapinya kemudian hari bisa dimaafkannya. Apalagi setelah wahyu Allah swt diturunkan langsung ke dalam hati Muhammad saw melalui malaikat Jibril, maka bertambah indah kelemah­lembutan beliau sebagai seorang pendidik manusia di kemudian hari.

Kedua, sebagai penggembala kambing[19]. Kambing termasuk hewan yang susah diatur karena memang dia hewan namun lebih jauh ada pelajaran besar yang disiapkan oleh Allah swt untuk calon utusanNya itu, sebagaimana para nabi terdahulu juga menggembala kambing. Pelajaran yang dimaksud salah satunya adalah melatih ketabahan dan kesabaran. Memang sangat logis sekali ternyata sangat dibu­tuh­kan sekali kesabaran dalam mengembala kambing, tanpa kesabaran seorang tidak mungkin bisa mengembala kambing dengan baik.

Adapun kambing pada masa itu menunjukan bahwa pemilik­nya adalah orang kaya dari segi harta. Itu berarti mengindikasikan bahwa kambing merupakan harta yang tinggi nilainya masa itu. Dari pengalaman sebagai pengembala kambing, Muhammad saw telah berproses secara alami menanamkan dalam dirinya sebagai seorang yang amanah terhadap titipan orang lain. Dalam konteks manusia biasa selanjutnya ia digelari sebagai Al-amin (orang yang terpercaya). Tidak sampai disana saja, ternyata dengan pengalaman tersebut telah dapat juga membentuk pribadi yang bertanggung jawab terhadap tugas yang diembankan kepadanya.

Ketiga, ketika Muhammad saw berusia 15 tahun terjadi perang antara keturunan Kinanah dan Quraisy di satu pihak melawan kabilah Hawazin di pihak lain. Perang ini dikenal dengan perang Fijar yang artinya pendurhakaan. Disebut demikian karena awal terjadinya disebabkan oleh pelanggaran atas larangan permusuhan pada bulan-bulan suci yang sangat dihormati berdasarkan aturan dan adat setempat[20].

Dalam perang ini Muhammad saw membantu pamannya memungut anak panah yang dilontarkan musuh dan sesekali melepaskan anak panah kepada musuh. Secara keseluruhan perang ini berlangsung empat tahun, kendatipun hanya beberapa tahun saja dalam setahunnya. Perang ini berakhir dengan perundingan yang melahirkan kesepakatan membentuk sebuah perserikatan yang disebut hilf al-fudhul yang artinya sumpah utama. Tujuan utamanya adalah memberikan perlin­dung­an bagi yang teraniaya di kota Makkah, baik oleh pen­duduknya sendiri maupun pihak lain. Muhammad saw termasuk anggotanya dan merupakan anggota termuda[21].

Dari pengalaman Muhammad saw sebagai prajurit perang, memberikan didikan menjadi seorang ksatria yang tangguh, pemberani, tangguh, kesetiakawanan, patuh kepada pimpinan perang. Pengalaman sebagai anggota penjaga perdamaian bagi orang teraniaya sebagai konsekwensi perjanjian half al fudhul di kota Makkah menempanya menjadi seorang yang humanis, visioner dalam menatap masa depan yang lebih baik untuk kemanusiaan, yang kemudian cocok dengan tugas yang akan diemban beliau sebagai seorang rasul rahmatan lil ‘alamin. Di mana Muhammad saw juga concern berdakwah mengetengah­kan kaum mustad’afin (kaum marginal) yaitu kaum fakir miskin, anak yatim dan orang yang berutang ke dalam masyarakat yang bermartabat.

Keempat, hidup dalam kaum kerabatnya. Setelah wafat Siti Aminah ibunda Muhammad saw, maka ‘Abd al- Muthalib melanjutkan pengasuhan, sampai kakek yang bijaksana ini wafat dua tahun kemudian. Tanggung jawab untuk mengasuh dan membesarkan Muhammad saw selanjutnya dipikul oleh Abu Thalib, seorang putera Abd al-Muthalib yang paling miskin, tetapi sangat dihormati oleh penduduk Makkah[22].

Kehidupan yang dijalani Muhammad saw belia bersama Abd al- Muthalib yang bijaksana, memberikan pela­jaran yang sangat berharga tentang materi kebijaksanaan. Materi kebijaksanaan langsung diberikan atau diserap dari kakeknya tercinta. Sehingga semua pengalaman hidup bersama Abd al-Muthallib memberikan pondasi pribadi bijaksana kepada Muhammad saw di kemudian hari.

Dalam beberapa kesempatan Muhammad saw sering menyak­sikan pertemuan akbar. Pertemuan besar tersebut merupakan musyawarah para pemimpin dari qabilah-qabilah di tanah Arab. Saat itu Muhammad saw langsung menyaksikan sekaligus mempelajari bagaimana berdiplomasi dan bermusyawah dengan penuh toleran diberbagai majelis yang diikutinya. Maklum kondisi seperti ini sangat musykil didapatkan oleh anak-anak selain Muhammad saw. Karena Muhammad saw sendiri adalah seorang cucu yang sangat disayangi kakeknya dan selalu ikut menghadiri beberapa acara besar dan bersejarah di negeri Arab.

Pengalaman-pengalaman bersama Abd al-Muthalib adalah laboratorium bagi Muhammad saw yang mendapatkan materi kebijaksanaan sesungguhnya. Sejarah juga telah mencatat bahwa ‘Abd al-Muthalib adalah salah seorang yang bijaksana di masa itu. Kemudian kehidupan Muhammad saw bersama pamannya, Abu Thalib yang miskin tapi sangat dihormati adalah sebuah materi lain yang mengajarkan hidup berpandai-pandai dan kemudian mengajarkan bahwa kemuliaan sebenarnya bukan terletak pada harta benda, tetapi kemuliaan terletak ketika selalu terbuka untuk membantu orang lain[23].

Sebagai contoh, Muhammad saw yang yatim piatu dengan senang hati dibawa untuk hidup bersama dengan Abu Thalib, yang secara ekonominya lemah dan mempunyai anggota keluarga yang banyak. Di keluarga inilah Muhammad saw belajar berempati kepada orang miskin dan yatim piatu di kemudian hari. Karena ia dapat merasakan sendiri, betapa gembiranya saat orang lain mau menerimanya sebagai anggota baru di keluarga itu, apalagi keluarga lemah segi finansial, namun mulia dari segi akhlak. Muhammad saw dapat memperhatikan dengan baik, walaupun miskin, keluarga tersebut tidak otomatis menjadi hina, namun tetap dihormati karena mampu menjaga muru’ah (wibawa), dengan tidak menjadi pengemis di tengah masyarakat.

Bila dipintas sejenak ketika menjadi utusan Allah, dalam masalah anak yatim, Muhammad saw pernah mengatakan, orang yang suka memelihara anak yatim di surga akan dekat bersamanya. Kemudian dalam masalah muru’ah, beliau mendorong umatnya agar tidak menjadi pengemis sebagaimana sabdanya “Bahwa seorang yang pergi mencari kayu ke hutan dan menjualnya untuk memenuhi hidupnya lebih mulia ketimbang orang-orang yang menjadi peminta-minta”.

Kelima, materi berkomtemplasi (menyendiri untuk mendapatkan petunjuk dari sang Penguasa Alam). Ibrahim Amini menyebutkan bahwa sebulan dalam setahun Muhammad saw melakukan i’tikaf di bukit Hira’ (gua Hira’). Keterangan di atas tidak merinci dengan pasti sejak kapan atau tepatnya pada usia berapa beliau telah mewiridkan i’tikaf di gua Hira. Namun yang jelas beliau sebulan dalam setahun selalu menghabiskan waktu di gua Hira’ yang bertujuan untuk menjernihkan fikiran dari hingar-bingar kejahiliyahan kaumnya yang mungkin merembes ke dalam fikiran dan jiwa beliau. Hal itu dapat dimengerti karena beliau hidup dalam lingkungan kaum Quraisy. Selain itu, sekaligus meminta petunjuk kepada Tuhan agar diberi petunjuk cara memperbaiki kondisi masyarakatnya.

Petunjuk yang dimaksud ialah menurunkan kurikulum[24] (wahyu) yang jelas, memuat langkah-langkah yang dilakukan terhadap kaumnya. Materi ini menanamkan pentingnya selalu menjaga hubungan dan kedekatan dengan Tuhan yang Haq setelah letih berfikir dan bekerja untuk manusia. Supaya selalu ingat bahwa manusia makhluk lemah dan perlu pertolongan dari Allah swt untuk menyelesaikan tugas-tugas besar mengajarkan manusia kepada ketauhidan.

Melihat semua pengalaman Muhammad saw dalam berbagai peristiwa yang kompleks itu, merupakan proses membentuk kepribadian Muhammad saw menjadi seorang pendidik. Karena yang berproses adalah calon seorang rasul, maka pendidikan yang disetting sedemikian rupa sehingga sempurna outcomenya. Bisa dikatakan, bahwa guru/pendidik masa itu hampir tidak ada, maksud pendidik di sini ialah minimal orang lurus fitrahnya kepada agama Allah swt. Dengan kelurusan fitrahnya itu, ia bersemangat mengajak orang lain kepada Allah swt. Namun saat itu tidak ada, kecuali beberapa orang yang mengaku pengikut nabi Ibrahim sang pembina Ka’bah. Mereka adalah Waraqah bin Naufal sepupu Khadijah istri nabi Muhammad saw yang kemudian masuk Nasrani[25], Abdullah bin Jashy, Usman bin Huwairist dan Zaid bin Umar[26]. Namun semangat mereka tidak kuat dan secemerlang nabi Muhammad saw dan para sahabat di kemudian hari. Selain semangat yang kurang kuat, kemurnian ajaran Ibrahim yang mereka yakini kurang jelas konsepnya.

Disebabkan ketiadaan guru atau pendidik, maka Allah swt langsung menjadi guru Muhammad saw, melalui peristiwa, pengalaman pahit atau senang. Maka, sejarah pendidikan dalam Islam dapat ditemukan sejak berprosesnya Muhammad saw sebagai manusia biasa di dalam hiruk-pikuk masyarakat Jahiliyah menjadi seorang nabi. Nabi yang sekaligus rasul tersebut akan menjadi seorang guru atau pendidik manusia di belakang hari adalah gambaran bahwa seorang pendidik harus mempunyai pendidikan yang lebih tinggi serta mempunyai sifat-sifat khusus seperti; berempati tinggi, lemah-lembut, amanah, cerdas, terpercaya, bertanggung jawab, bijaksana, berani, setia kawan, visioner, humanist, tegas, mulia dan tinggi derajatnya[27] dari yang dibina atau dididik.

Boleh dikatakan periode sebelum menjadi utusan adalah fase pembinaan “rasa[28]”. Rasa merupakan bagian dari akal manusia selain budi dan daya fikir[29] yang harus dikembangkan oleh pendidikan Islam. Adapun prinsip pendidikan Islam adalah pendidikan untuk mencerdaskan akal. Lebih jauh dapat dijelaskan konsep akal ini untuk mensinkronkan arah pendidikan yang dimaksud dalam bahasan ini karena ada kekeliruan sebagian orang dalam memahami apa sebenarnya akal itu.

Dalam hal ini, Sidigizalba menjelaskan bahwa akal itu bukan hanya pikir yang sebagian orang tertuju kepada otak sebagai sumbernya. Menurutnya, pikir dalam ucapan sehari-hari menunjukkan kepada kerja budi. Dan kalau kita himpun ayat-ayat al-Qur’an[30] yang mengandung istilah akal dan menguraikan pengertian yang menjadi isinya, kita akan berkesimpulan, bahwa dalam pengertiannya memang ada pikir. Tapi bukan itu saja, masih ada unsur lain yaitu rasa.[31] Beliau menambahkan bahwa kebenaran perkara ini dapat kita uji pada pengertian umum kata itu dalam bahasa aslinya, yaitu alat untuk berfikir dan alat untuk menimbang baik buruk atau merasakan segala perubahan keadaan, dalam istilah ilmu jiwa rasa yang melakukan tugas itu disebut rasa etika.[32] Lihat surat Al-Baqarah ayat 73 dan 219, masing-masing ayat menuturkan penekanan berbeda setelah membahas tentang kematian dan alam gaib, khamar dan judi. Bahwa soal mati adalah perkara gaib yang tidak mungkin difikirkan dan dihadapi oleh budi saja. Tentang peristiwa menghidupkan orang mati tidak akan diterima oleh fikiran saja. Kalau tidak disertai oleh rasa agama yang bersumber dalam qalbu. Sedangkan manfaat dan mudharat minuman keras dan judi dan apa yang akan disedekahkan dapat dipikirkan oleh budi saja berdasarkan pengalaman atau kenyataan[33].

Dengan demikian pengertian yang dikandung oleh istilah akal adalah fikir dan rasa. Ia terbagi dalam dua segi dan tiap segi berpotensi untuk bekerja sendirian. Tapi dalam bentuknya yang penuh atau dalam wujudnya yang lengkap, akal adalah jalinan kerja budi dan kalbu, kerjasama fikir dan rasa[34]. Berdasarkan argumen yang disebutkan di atas menunjukan bahwa pendidikan yang dilalui Muhammad saw periode pra kenabian adalah pendidikan rasa yang merupakan bagian dari jalinan kesempurnaan akal manusia itu.

Kalau dicermati sifat-sifat yang muncul dari hasil belajar Muhammad saw, sebagian termasuk kelompok yang muncul oleh rasa seperti empati tinggi kepada orang lain, lemah-lembut, amanah, cerdas, terpercaya, bertanggung jawab, bijaksana, berani, setia kawan, visioner, dan humanist.

Ternyata, pembinaan dan pendidikan rasa oleh Muhammad saw melalui waktu lebih panjang dari usianya. Beliau lahir 12 Rabiul Awwal tahun Gajah hingga usia empat puluh tahun sebelum menjadi rasul pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriah, bertepatan dengan 6 Agustus 610 Masehi diwaktu sedang berkhalwat di gua Hira[35] atau versi lain menyebutkan pada tanggal 27 Rajab 610 Masehi (penulis cenderung pendapat pertama yang lebih populer dikalangan ahli sejarah Islam).

Pola pendidikan Muhammad saw bila mengacu kepada ruang lingkup pendidikan modern, yaitu ; sekolah, keluarga dan teman sebaya atau lingkungan masyarakat di mana ia tinggal[36], maka Muhammad saw adalah produk satu ranah pendidikan saja yaitu lingkungan masyarakat[37]. Pendidikan masyarakat yang dilalui Muhammad saw lebih menekankan aspek rasa atau afektive (dalam bahasa modernnya). Pada tahap pendidikan dasar Muhammad saw dikhususkan atau difokuskan pada pembinaan rasa atau emotional quetion (EQ).

Dari keterangan di atas, sudah semestinya kita lebih memberdayakan aspek rasa atau afektive untuk porsi yang lebih banyak, mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ketimbang hanya menekankan pada budi pikir atau kognitif. Menurut pendapat Al-Qobis (wafat 936/1012M) mengutip pendapat Hasan Abd al-Ali mengatakan sesuai pendapat Ikhwan al-Shafa pengetahuan hanya bisa diperoleh dari kepekaan perasaan, belum berdasar kekuatan akal[38]. Metode partisipatoris, demonstrasi dan role playing cocok digunakan dengan banyak belajar di luar kelas ketimbang dalam kelas formal seperti yang biasa dilaksanakan selama ini. Bisa dikatakan pendidikan persiapan Muhammad saw sebelum jadi guru (utusan Allah swt) untuk manusia dibutuhkan waktu 40 tahun untuk mendidik/membina potensi rasa atau Emotional Quetion. Sehingga kepribadian beliau sangat sempurna dan mem­punyai daya tarik yang hebat terhadap manusia hingga hari ini.

Kalau dilihat masa pendidikan Muhammad saw selama 40 tahun dengan usianya 63 tahun, maka, 23 tahun saja Muhammad saw dididik oleh Allah swt pada aspek Intelectual Quetion (IQ). Kenapa dikelompokkan kepada pendidikan aspek kognitif karena beliau belajar tidak hanya dengan pengalaman semata, akan tetapi telah ada materi (wahyu) sebagai panduan belajar lebih lanjut, sedang masa sebelumnya pendidikan hanya berlangsung dari pengalaman hidup seperti diuraikan di atas.

Apabila ditinjau dari pengaruh pribadi yang ditinggalkan atau yang melekat kepada para sahabat beliau sebagai murid-muridnya, maka pengaruh kepribadian beliau yang lembut, santun dan mulia tersebut masih menggema kuat dalam relung-relung zaman hingga saat ini. Ini membuktikan ternyata aspek pendidikan dengan menggunakan pendekatan “rasa” sangat efektif sekali dalam membetuk pribadi-pribadi seperti sang pendidik utama, yakni Muhammad saw. Bisa dikatakan outcome didikan Muhammad saw adalah para sahabat-sahabatnya, walaupun tidak berstatus sebagai nabi namun semangat mereka tidak jauh berbeda dari beliau sendiri sebagai pendidik utama mereka. Hasil dari pendidikan yang dikembangkan oleh Allah swt sebelum kenabian Muhammad saw adalah dengan banyaknya yang masuk Islam atas kesadaran sendiri, melihat kepribadian Muhammad saw yang sangat sempurna. Salah satunya adalah Umar bin Khattab, dengan pendekatan yang lemah lembut bisa melunak kepribadiannya yang terkenal kasar.

3. Kesimpulan

Kesimpulan uraian di atas, bahwa pendidikan Islam telah ada ketika pra kenabian Muhammad saw. Bisa dijelaskan bahwa sejarah telah mencatat, ternyata nabi Muhammad saw telah melangsungkan pendidikan yang luar biasa. Pendidikan yang kurikulumnya dirancang oleh Allah swt, kelas belajar adalah masyarakat Quraisy, dan semua peristiwa adalah materi-materi yang disuguhkan kepada nabi Muhammad saw sebagai murid. Dengan kata lain, nabi Muhammad saw dengan materi-materi belajar menggunakan pendekatan partisipatoris yang terlibat langsung dengan kejadian yang dikehendaki oleh materi ajar yang disusun oleh Allah swt. Atau bisa juga disebut dengan metode partisipatoris dan role playing atau seni peran, metode ini memungkinkan peserta didik merasakan langsung peristiwa, pengalaman-pengalaman pembelajaran sehingga lebih mudah menyerap dan memaknai hasil pembelajaran tersebut.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 

 

Amini, Ibrahim, Mengapa Nabi Diutus, Jakarta: Alhuda, 2006

 

Dahar, Ratna Wilis, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011

 

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2009

 

Amin, Syamsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009

 

Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam Masa klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet, III

 

Sidigizalba, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet III

 

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2008 Edisi Revisi

 

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarat: PT. Ciputat Press Group, 2010

 

[1] Ibrahim Amini, Mengapa Nabi Diutus, (Jakarta: Alhuda, 2006), h. 150

[2] Ibid, h.153

[3] Ibid, h.156

[4] Kaum Quraisy yang dimaksud ialah Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jashy, Usman bin Huwairits dan Zaid bin Umar.

[5] Ibrahim Amini, Op.Cit,h. 156

[6] Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 2

[7] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 10-11

[8] Ibid, h.11

[9] Ibid, h.6

[10] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), Cet I, h.16

[11] Siti Maryam Dkk, Sejarah Peradaban Islam Masa klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2009), Cet, III, h. 21

[12] Ibrahim Amini, Op.Cit, h. 76

[13] Ibid, h. 149

[14] Guru Kwivalen syaikh, Ulama, Kyai, Ustadz, Buya, dll, karena aktivitas mereka tidak lepas dari menyampaikan pesan agama kepada manusia. Sabda Nabi mengatakan “Al-Ulama’u Waritsatu al-Anbiya” Artinya Para ulama adalah pewaris para Nabi, berarti juga sekaligus pengajar dan pendidik umat sepanjang sejarah Islam, tentu hingga hari ini dan akhir zaman kelak.

[15] Murid dari bahasa Arab yang sudah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia dan sudah populer dalam bahasa Inggris disebut Student juga bersinonim siswa dalam bahasa asli Indonesia

[16] Ibrahim Amini, Op.Cit, h. I54

[17] Ibid, h. 22

[18] Ibid, h. 22

[19] Siti Maryam dkk, Op.Cit, h. 23

[20] Ibid, h. 22

[21] Ibid

[22] Ibid

[23] Sabda beliau tentang orang suka membantu orang lain menunjukkan bahwa Allah juga suka membantunya dan perkataan beliau lainnya yang cukup terkenal ialah manusia yang baik itu adalah orang bermanfaat bagi orang lain.

[24] Maksud wahyu, karena kita tahu Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kemudian tatkala ia telah diangkat jadi rasul. Wahyu yang diturunkan itu sesuai dengan kebutuhan kaum Quraisy saat itu. Dikatakan kurikulum dilihat dari kaca mata pendidikan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pendidik atau guru kepada para sahabatnya, dalam kitab Nilailu Author disebutkan bahwa :” Nabi mengajarkan kapada sahabat-sahabatnya ayat al-Qur’an sepuluh-sepuluh ayat” dalam tinjuan pendidikan itu disebut hidden curiculum (kurikulum tersembunyi) karena Nabi tidak pernah menuliskannya tapi hanya memberikan isyarat dari kebiasaan Nabi ketika mengajar beliau selalu melakukan hal serupa di atas

[25] Siti Maryam, Op.Cit, h. 25

[26] Ibrahim Amini, Op.Cit,h. 156-157

[27] Kemulian seseorang karena ilmu dan akhlaknya dan lebih penting lagi karena ketaqwaannya kepada Allah Swt

[28] Rasa adalah bagian ‘aqal yang dimiliki manusia lihat ayat yang menjurus ke arah sana surat Al-Mukminun ayat 80, Allah menggambarkan “Allah ia yang menghidupkan dan mematikan dan mempergantikan siang dan malam apakah kamu tidak berakal” penjelasan : hidup dan mati hanya bisa direnungkan mendalam dengan rasa yang dimiliki oleh manusia sedangkan pergantian malam dan siang bisa dicerna oleh otak manusia langsung dengan bantuan panca indra yang dimilikinya untuk mengambil pelajaran, oleh karena dalam ayat tersebut Allah mengindikasikan orang berakal itu ialah yang mempuyai rasa dan budi dengan daya fikirnya

[29] Sidigizalba, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet, 3, h.

[30] Lihat surat al-Baqarah ayat : 73 dan 219. Di dalam ayat tersebut ketika berbicara tentang mati dan hidup ujung ayat menggunakan istilah ta’qiluun asal kata ‘aaqala dan tatkala menjelaskan tentang minum keras, judi, mengudi nasib dan seterusnya ujung ayat menggunakan kata yatafakkaruun . lihat lebih lengkap penjelasan dalam Gizalba Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama

[31]Sidigizalba, Ilmu, Filsafat, dan Islam tentang manusia dan Agama¸Op.Cit,h. 16

[32] Ibid

[33] Ibid,h. 17

[34] Ibid

[35] Siti Maryam, Op.cit, h. 24

[36] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2008 Edisi Revisi, h. 94

[37] Pepatah MinangKabau menyebutkan “Alam takambang jadi guru

[38] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarat: PT. Ciputat Press Group, 2010), h. 77

Tinggalkan komentar